Jumat, 28 Maret 2014

HUKUM PERIKATAN

Nama    :Etika Septiawati
Kelas     :2eb23
Npm      :22212569


BAB IV
Hukum Perikatan

Pengertian Hukum Perikatan
Hukum perikatan yang dalam bahasa belanda dikenal dengan sebutan verbintenis ternyata memiliki arti yang lebih luas  daripada perjanjian. Hal ini disebabkan karena hukum perikatan juga mengatur suatu hubungan hukum yang tidak bersumber dari suatu persetujuan atau perjanjian. Hukum perikatan yang demikian timbul dari adanya perbuatan melanggar hukum “onrechtmatigedaad” dan perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan “zaakwaarneming”.
Dengan ini Hukum perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan.

Berikut ini merupakan definisi hukum perikatan menurut para ahli :
1.      Hukum perikatan menurut Pitlo adalah “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu memiliki hak (kreditur) dan pihak yang lain memiliki kewajiban (debitur) atas suatu prestasi”.
2.      Hukum perikatan menurut  Hofmann adalah “suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu".
3.      Hukum perikatan menurut Subekti adalah "Suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu".


Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
·         Perikatan yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
·         Perikatan yang timbul dari undang-undang
·         Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan undang-undang :
·         Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
·         Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
·         Undang-undang ( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

Asas-asas Dalam Hukum Perjanjian
1.       Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1.     Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2.     Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3.     Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4.     Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
2.       Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
3.       Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
4.       Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
5.       Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Wanprestasi dan Akibatnya
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Ada empat kategori dari wanprestasi, yaitu :
·         Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
·         Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
·         Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
·         Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

Akibat-akibat wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1.       Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur ( ganti rugi )
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni :
o   Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak
o   Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor
o   Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.

2.       Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
3.       Peralihan resiko
Adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata.

Hapusnya Hukum Perikatan
Pasal 1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
1.      Pembayaran.
2.      Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
3.      Pembaharuan utang (novasi).
4.      Perjumpaan utang atau kompensasi.
5.      Percampuran utang (konfusio).
6.      Pembebasan utang.
7.      Musnahnya barang terutang.
8.      Batal/ pembatalan.
9.      Berlakunya suatu syarat batal.
10.  Dan lewatnya waktu (daluarsa).

Sumber :










Hukum Perdata

Nama   :Etika Septiawati
Kelas   :2eb23
Npm    :22212569


BAB III
HUKUM PERDATA

Hukum perdata yang berlaku di Indonesia
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.

Yang dimaksud dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.

Sejarah Singkat Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
Bermula dari benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental berlaku Hukum Perdata Romawi, disamping adanya Hukum tertulis dan Hukum kebiasaan setempat. Diterimanya Hukum Perdata Romawi pada waktu itu sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, oleh karena itu hukum di di Eropa tidak terintegrasi sebagaimana mestinya, dimana tiap-tiap daerah memiliki peraturan-peraturan sendiri, juga peraturan setiap daerah itu berbeda-beda.
Sejalan degan adanya penjajahan oleh bangsa Belanda (1809-1811), maka Raja Lodewijk Napoleon menetapkan: “Wetboek Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan “Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber Hukum Perdata di Belanda (Nederland).
Setelah berakhirnya penjajahan dan dinyatakan Nederland disatukan dengan Perancis pada tahun 1811, Code Civil des Francais atau Code Napoleon ini tetap berlaku di Belanda (Nederland).
Oleh karena perkembangan jaman, dan setelah beberapa tahun kemerdekaan Belanda (Nederland) dari Perancis ini, bangsa Belanda mulai memikirkan dan mengerjakan kodifikasi dari Hukum Perdatanya. Dan tepatnya 5 Juli 1830 kodifikasi ini selesai dengan terbentuknya BW (Burgelijk Wetboek) dan WVK (Wetboek van koophandle) ini adalah produk Nasional-Nederland namun isi dan bentuknya sebagian besar sama dengan Code Civil des Francais dan Code de Commerce.
Dan pada tahun 1948,kedua Undang-undang produk Nasional-Nederland ini diberlakukan di Indonesia berdasarkan azas koncordantie (azas Politik Hukum),Sampai saat ini kita kenal denga kata KUH Sipil (KUHP) untuk BW (Burgerlijk Wetboek). Sedangkan KUH Dagang untuk WVK (Wetboek van koophandle).
Pengertian Hukum perdata dan keadaan hukum perdata di indonesia
  • Pengertian hukum perdata
Hukum perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antar perorangan di dalam masyarakat. Hukum perdata dalam arti luas meliputi semua hukum privat materil dan dapat juga dikatakan sebagai lawan dari hukum pidana. Pengeertian hukum privat (hukum perdana materil) adalah hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur hubungan antar perorangan didalam masyarakat dalam kepentingan dari masing-masing orang yang bersangkutan.
 Selain ada hukum privat materil, ada juga hukum perdata formil yang lebih dikenal dengan HAP (hukum acara perdata) atau proses perdata yang artinya hukum yang memuat segala peraturan yang mengatur bagaimana caranya melaksanakan praktek di lingkungan pengadilan perdata.

  • Keadaan hukum perdata di indonesia
Kondisi Hukum Perdata di Indonesia dapat dikatakan masih bersifat majemuk yaitu masih beraneka. Penyebab dari keaneka ragaman ini ada 2 faktor yaitu:
  1. Faktor Ethnis disebabkan keaneka ragaman Hukum Adat Bangsa Indonesia, karena negara kita Indonesia ini terdiri dari berbagai suku bangsa.
  1. Faktor Hostia Yuridisyang dapat kita lihat, yang pada pasal 163.I.S. yang membagi penduduk Indonesia dalam tiga Golongan, yaitu:
    1. Golongan Eropa dan yang dipersamakan
    2. Golongan Bumi Putera (pribumi / bangsa Indonesia asli) dan yang dipersamakan.
    3. Golongan Timur Asing (bangsa Cina, India, Arab).
 Adapun hukum yang diberlakukan bagi masing-masing golongan yaitu:
  1. Bagi golongan Eropa dan yang dipersamakan berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang Barat yang diselaraskan dengan Hukum Perdata dan Hukum Dagang di negeri Belanda berdasarkan azas konkordansi.
  2. Bagi golongan Bumi Putera (Indonesia Asli) dan yang dipersamakan berlaku Hukum Adat mereka. Yaitu hukum yang sejak dahulu kala berlaku di kalangan rakyat, dimana sebagian besar Hukum Adat tersebut belum tertulis, tetapi hidup dalam tindakan-tindakan rakyat.
  3. Bagi golongan timur asing (bangsa Cina, India, Arab) berlaku hukum masing-masing, dengan catatan bahwa golongan Bumi Putera dan Timur Asing (Cina, India, Arab) diperbolehkan untuk menundukan diri kepada Hukum Eropa Barat baik secara keseluruhan maupun untuk beberapa macam tindakan hukum tertentu saja.
Disamping itu ada peraturan-peraturan yang secara khusus dibuat untuk bangsa Indonesia seperti: 
-          Ordonansi Perkawinan bangsa Indonesia Kristen (Staatsblad 1933 no7.4).
-           Organisasi tentang Maskapai Andil Indonesia (IMA) Staatsblad 1939 no 570 berhubungan denag no 717). 
Dan ada pula peraturan-peraturan yang berlaku bagi semua golongan warga negara, yaitu:
-          Undang-undang Hak Pengarang (Auteurswet tahun 1912)
-          Peraturan Umum tentang Koperasi (Staatsblad 1933 no 108)
-          Ordonansi Woeker (Staatsblad 1938 no 523)
-          Ordonansi tentang pengangkutan di udara (Staatsblad 1938 no 98).

B. Sistematika Hukum Perdata
Menurut ilmu pengetahuan hukum, hukum perdata dapat dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu :
1) Hukum perorangan (personenrecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang seseorang manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban (subyek hukum),tentang umur,kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum,tempat tinggal(domisili)dan sebagainya.
2) Hukum keluarga (familierecht)
Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum yang timbul karena hubungan keluarga / kekeluargaan seperti perkawinan,perceraian,hubungan orang tua dan anak,perwalian,curatele,dan sebagainya.
3) Hukum harta kekayaan (vermogensrecht),
 Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum seseorang dalam lapangan harta kekayaan seperti perjanjian,milik,gadai dan sebagainya.
4) Hukum Waris (arfrecht).
 Memuat peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang benda atau harta kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia,dengan perkataan lain:hukum yang mengatur peralihan benda dari orang yang meninggal dunia kepada orang yang masih hidup.

Sumber :