Senin, 20 Juni 2016

MASALAH EKONOMI DI INDONESIA TINGGINYA BIAYA PRODUKSI

Tugas Softskill ke 4
Kelompok  :
Etika Septiawati                (22212569)
Fachmi Putri R                  (22212592)
Herdyana Eka Yustanti      (23212421)
Nita Ratnasari                  (25212355)
Kelas         : 4EB23


MASALAH EKONOMI DI INDONESIA
TINGGINYA BIAYA PRODUKSI
1.     Biaya Produksi dan Upah Tenaga Kerja Tinggi Picu Deindustrialisasi


Sumber : Indonesia Finance Today
JAKARTA - Industri manufaktur di Indonesia berpotensi mengalami deindustrialisasi seiring dengan tren penurunan pertumbuhan dalam lima tahun terakhir. Seiring dengan itu, kenaikan upah tenaga kerja mengakibatkan biaya produksi industri dalam negeri menjadi lebih tinggi dan tidak kompetitif dibanding negara lain.
"Tren penurunan industri nonmigas memicu deindustrialisasi di Indonesia, dimana gejala ini telah terlihat sejak empat hingga lima tahun yang lalu. Hal itu salah satunya dipicu oleh industri padat karya menjadi penyumbang deindustrialisasi terbesar di dalam negeri seiring dengan upah tenaga kerja saat ini yang cukup tinggi," kata Haryadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kepada IFT.
Selain itu, dia juga menilai, biaya produksi tinggi mengakibatkan hasil produksi dalam negeri menjadi tidak kompetitif dan lebih mahal dibandingkan dengan produk impor. Sehingga pada akhirnya, banyak orang yang berpikir untuk mengambil langkah melakukan impor dibanding mendirikan pabrik.
"Biaya tidak kompetitif itu mengakibatkan banyak industri gulung tikar atau merelokasi usaha mereka. Hal tersebut terus-menerus terjadi hingga terjadi penurunan pertumbuhan industri. Saat ini, industri yang ada dan mampu berkembang di Tanah Air adalah industri padat modal dan berteknologi. Namun industri tersebut cenderung sedikit menyerap tenaga kerja," ujar dia.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas sempat menyentuh level tertinggi pada 2011 sebesar 6,49%, kemudian melambat pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2012, industri pengolahan non-migas tumbuh 6,42%, lalu turun menjadi 6,1% di 2013 dan 5,34% pada 2014.
Penurunan pertumbuhan industri ini berpengaruh pada penurunan daya saing industri sebagai ancaman utama deindustrialisasi di Indonesia. Data World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2014-2015 menunjukkan peringkat daya saing Indonesia masih berada di bawah negara-negara ekonomi utama di Asean.
Data WEF menempatkan Indonesia di peringkat 35 dari 144 negara yang disurvei. Meskipun peringkat tersebut mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, daya saing Indonesia masih berada di bawah Thailand yang berada di peringkat 31, Malaysia di peringkat 20, dan Singapura yang ada diperingkat 2.
Meski demikian, menurut Haryadi, deindustrialisasi tidak perlu dikhawatirkan bila melihat komitmen investasi dan pembangunan industri saat ini. Pasalnya kini banyak pelaku usaha yang membeli lahan di kawasan industri, meski untuk realisasinya masih membutuhkan waktu.
Dengan begitu, dia berharap, tren pembelian lahan dan pembangunan industri itu terealisasi, maka ke depan akan ada titik balik untuk pertumbuhan industri. Meski untuk mencapai titik balik pertumbuhan industri tersebut juga bergantung pada kebijakan pemerintah seperti dari segi upah tenaga kerja dan pemerataan pembangunan infrastruktur, seperti listrik di seluruh wilayah Indonesia, agar investasi tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Harjanto, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, membenarkan mengenai adanya kecenderungan penunan pertumbuhan industri sejak 2012. Penurunan pertumbuhan industri, kata Harjanto, seiring dengan dengan penurunan ekspor dan impor.
Kendati demikian, sepanjang tahun ini Kementerian Perindustrian menargetkan industri non-migas bisa kembali tumbuh di kisaran 6,8% atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi.
Sementara untuk meningkatkan daya saing, pemerintah berupaya mendorong industri untuk bisa memenuhi indeks standar daya saing yang mencakup masalah energi, mendorong efisiensi dan sebagainya.
Kesimpulan : Seharusnya pemerintah bisa membantu untuk menangani masalah tingginya biaya produksi dalam industri padat karya. Masalah ini kalau tidak ditangani dengan serius akan menimbulkan banyaknya produk-produk yang di impor dari luar negeri, karena di Indonesia menghasilkan produk-produk yang harganya lebih tinggi dari pada produk yang di hasilkan oleh negara luar. Sehingga kebanyakan orang lebih memilih untuk membeli produk impor di bandingkan dengan mendirikan pabrik sendiri . Penurunan pertumbuhan industri di Indonesia berpengaruh kepada daya saing industri, terlihat dari data World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2014-2015 menunjukkan peringkat daya saing Indonesia masih berada di bawah negara-negara ekonomi utama di Asean. Indonesia mendapat peringkat 35 meskipun peringkat tersebut lebih baik dari pada tahun sebelumnya seharusnya Indonesia bisa mengalahkan peringkat Singapura yang berada di posisi ke 2 kalau diliat dari banyaknya sumber daya alam dan sumber daya manusia, karena negara Indonesia lebih banyak memiliki sumber daya  alam yang sangat melimpah. Meskipun akhir-akhir ini banyak pelaku usaha membeli lahan-lahan di wilayah industri peranan pemerintah pada saat ini sangat dibutuhkan karena pemerintah bisa membantu untuk mendukung dan memotivasi pelaku usaha di Indonesia agar mereka lebih memilih untuk membangun pabrik dalam hal industri padat karya.
2.     Biaya Produksi Tinggi, Industri Sepatu RI Kalah Saing dari Vietnam
Jakarta -Dalam pertemuan dengan para pengusaha sepatu di Jawa Timur hari ini, Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menerima keluhan tentang lemahnya daya saing industry sepatu Indonesia dibandingkan dengan negara lain, khususnya Vietnam.
Menurut perhitungan para investor, kenaikan UMK tahun 2016 membuat biaya produksi sepatu di Indonesia menjadi lebih tinggi 20%-25% dibandingkan Vietnam. 
"Mereka menjelaskan akibat tingginya biaya produksi tersebut menjadikan buyer mereka memindahkan orderke Vietnam yang daya saingnya lebih bagus," ungkap Kepala BKPM Franky Sibarani dalam keterangan tertulis kepada detikFinance, di Jakarta, Rabu (2/12/2015).
Selain biaya produksi yang lebih rendah, industri sepatu di Vietnam juga memiliki akses pasar lebih luas dibanding Indonesia. Sebab, Vietnam sudah menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Negara yang baru selesai perang tahun 1979 itu juga sudah bergabung dengan Trans Pacific Partnership (TPP).
"Daya saing ekspor di mana Vietnam unggul 9% dari Indonesia dengan keberadaan perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa dan keanggotaan Vietnam dalam TPP‎," Franky menambahkan.
Hal lain yang menjadi sorotan investor sepatu di Jawa Timur adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 87/2015 (Permendag 87/2015) tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu. Menurut para pengusaha, aturan tersebut kontraproduktif dengan visi industralisasi pemerintah.
Franky berjanji akan segera berkoordinasi dengan Menteri Perdagangan Thomas Lembong terkait aturan tersebut.
"Pengusaha mengilustrasikan bahwa produsen yang mempekerjakan ribuan karyawan, memberikan nilai tambah harus menempuh perizinan yang sulit, misalnya sekitar 200 izin terkait konstruksi dan operasi, investasi dengan nilai besar, terikat dengan banyak izin pusat maupun daerah, harus comply dengan berbagai aturan. Sementara membuat perusahaan trading cukup 25 orang, sewa gudang, modal alat transportasi pengangkut sudah bisa meraup untuk besar karena sekarang bebas impor berbagai macam produk," pungkas Franky. 
(hns/hns) 
Kesimpulan: Seharusnya negara Indonesia bisa melihat contoh dari negara Vietnam karena negara tersebut sangat maju dalam hal membuat produksi sepatu. Negara Vietnam lebih memberikan kualitas yang bagus dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga sepatu di Indonesi karena Indonesia semenjak terjadinya kenaikan UMK mengalami kenaikan yang tinggi dalam memproduksi sepatu. Negara Vietnam juga memiliki akses pasar yang lebih luas dengan cara menandatangani perjanjian perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Dengan menandatangani perjaijian tersebut Vietnam lebih unggul sebesar 9% dibandingkan Indonesia. Seharusnya Menteri Perdagangan lebih mendukung pengusaha melakukan ekspor kepada negara lain jangan memberikan peraturan yang membolehkan melakukan impor pada produk tertentu saja dengan demikian Indonesia bisa jauh lebih baik dan dapat memberikan kemudahan dalam masalah perizinan. Menteri Keuangan memberikan peraturan yang sangat menyulitkan pengusaha untuk mempekerjakan karyawan.
3.     Biaya Produksi Bahan Pangan Tinggi
REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Tingginya biaya produksi mulai dirasakan petani. Anomali cuaca dan isu kenaikan bahan bakar minyak membuat harga sejumlah komoditas melonjak. "Naiknya bisa sampai 30 persen," ujar petani kentang di dataran tinggi Dieng, Mudasir, Jumat (21/6).
Di daerah Dieng, Jawa Tengah, misalnya, panjangnya jarak tempuh membuat petani harus mengeluarkan dana lebih. Biaya transportasi untuk mengangkut kentang mengalami kenaikan lebih dari Rp 3.000 per karung. Jarak tempuh yang jauh juga disebabkan oleh ditutupnya beberapa akses jalan karena sedang dibangun.
Ia menambahkan, tanah yang basah pun menyebabkan petani enggan melakukan penanaman karena risiko besar. Biaya untuk membeli pestisida juga harus ditambah hingga 30 persen agar tanaman kuat menghadapi kemarau basah. Dalam kondisi normal, bulan Mei dan Juni merupakan waktu ideal untuk mulai menanam. Belum dipastikan berapa jumlah kerugian yang diderita petani akibat faktor cuaca.
Saat ini, kentang di tingkat petani dihargai Rp 6.500 per kg. Satu hektare (ha) lahan biasanya mampu menghasilkan sekitar 12 hingga 15 ton kentang. Kini, produksi kentang pada satu ha lahan hanya sekitar 10 hingga 11 ton. Selain kentang, produksi bawang merah juga menurun akibat anomali cuaca. Iklim basah membuat lahan diserbu organisme pengganggu tanaman (OPT) bertubi-tubi. Satu ha lahan yang normalnya menghasilkan 15 ton bawang merah, kini hanya mampu memproduksi sekitar 8 ton bawang merah.
Ketua Asosiasi Bawang Merah (ABMI) Asmawi Isa mengatakan, petani harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk memberantas hama. Untuk satu ha lahan, petani normalnya mengeluarkan biaya obat-obatan sekitar Rp 20 juta. Kini, minimal Rp 35 juta harus dikeluarkan untuk satu ha lahan. "Ongkos pemeliharaannya mahal, kualitas bawangnya juga kurang bagus," katanya.
Satu kilogram bawang merah bermutu baik dihargai Rp 20 ribu hingga Rp 23 ribu per kg. Sedangkan, bawang merah minim mutu dihargai Rp 12 ribu hingga Rp 15 ribu per kg. Ismawi mengatakan, masih banyak petani kecil yang memilih melakukan penanaman daripada menganggur menunggu cuaca yang lebih baik.
Harga bawang di tingkat petani masih stabil, beda dengan tren kenaikan harga di tingkat konsumen. Di pasar, menurutnya, harga bawang merah sudah membengkak menjadi tiga kali lipat. Pemerintah pun diimbau agar membantu menstabilkan harga mengingat sebentar lagi datang bulan Ramdahan. "Tapi, bukan dengan jalan impor," ujarnya menegaskan.
Menteri Perdagangan (Mendag) Gita Wirjawan mengatakan, produksi kentang harus dipantau ketat. Kemarau basah menyebabkan produksi merosot, termasuk di sentra kentang seperti Dieng. "Semestinya pasokan dalam negeri cukup, tapi di Dieng dan tempat-tempar lain agak basah. Nah, ini yang harus diantisipasi," katanya ditemui di Kemendag, Jumat (21/6).
Namun, pihaknya memastikan belum berencana membuka keran impor kembali untuk komoditas apa pun. Ia pun belum memastikan terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen. Kenaikan harga, menurutnya, akan terjadi apabila distribusi dan pasokan mengalami kekurangan. Untuk saat ini, pengusaha berkomitmen bahwa pasokan domestik cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. n meiliani fauziah ed: irwan kelana.
Kesimpulan : Seharusnya pemerintah bisa lebih memperhatikan para petani dengan cara dapat menekan tingginya pembelian pupuk dan pestisida untuk mencegah dan memberantas hama (OPT) karena biaya pembelian hama sangat besar yang dikeluarkan oleh para petani, selain itu pemerintah juga harus menekan tingginya biaya yang dikeluarkan untuk transportasi. Meskipun di pasar harga sejumlah komoditas seperti kentang, bawang merah mengalami kenaikan tetapi kenaikan harga tersebut tidak dirasakan oleh para petani. Sehingga dengan adanya perubahan iklim seperti saat ini dengan harga yang sangat tinggi untuk bercocok tanam seperti menanam kentang dan bawang merah dirasakan sangat beresiko untuk para petani. Petani sangat mengalami kerugian, karena perubahan iklim tersebut membuat hasil panen sangat merosot/ berkurang dan kualitas yang dihasilkan kurang bagus sehingga petani hanya dapat menjual hasil panen tersebut dengan harga yang tidak terlalu tinggi . Meskipun demikian pemerintah belum memutuskan untuk melakukan impor dari luar negeri untuk komoditas apapun.   

Referensi :
http://finance.detik.com/read/2015/12/02/171132/3086219/1036/biaya-produksi-tinggi-industri-sepatu-ri-kalah-saing-dari-vietnam
http://www.republika.co.id/berita/koran/news-update/13/06/21/mor3le-biaya-produksi-bahan-pangan-tinggi